calender

Rabu, 04 Mei 2011

Sejarah Eksploitasi Sumber Daya Alam


Tekanan dari luar untuk memenuhi kebutuhan hidup dewasa ini lebih intrusif lagi. Pertama-tama disebabkan tekanan ekonomis memaksa eksplorasi kekayaan sumber daya alam dengan mengonversi yang tumbuh di atas bumi misalnya, kayu hutan hujan menjadi bahan baku pada pabrik plywood serta kilang gergaji. Hutan dan tanah dusun juga dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Kedua, kekayaan dari perut bumi, yakni mineral-mineral digali dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk permintaan pasar dunia. Itu menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat pasca tradisional lebih diprioritaskan dibandingkan kebutuhan masyarakat pra modern. Bahan mentah sebenarnya terletak di “Lebensraum” kelompok tradisional. Sejak lama Kalimantan dilihat sebagai sumber alam yang tidak ada habis-habisnya, padahal sumber itu sebenarnya terbatas.

Permintaan kayu pasar dunia masih kuat, sementara produksi kayu bulat turun karena sulit memperpanjang izin atau menebang pohon secara ilegal. Pada waktu melakukan perjalanan salah seorang penumpang yang bekerja di pabrik kayu plywood memkonfirmasikan keadaan di Kalimantan Barat bahwa keperluan bahan mentah pabrik yang memproduksi plywood kurang cukup.
Untuk mengatasi masalah bahan baku di Kalimantan ada kayu bulat yang masuk dari Papua. Penebangan pohon untuk kebutuhan komersial tidak terjadi di seluruh daerah Kalimantan.

Sejarah eksploitasi mineral pertama yang penting mungkin adalah pertambangan dan pengolahan bijih besi yang terdapat di berbagai tempat di seluruh Borneo. Dengan diperkenalkannya keterampilan penggarapan besi dari daratan Asia diantara abad ke-5 dan ke-10 Masehi (Bellwood 1985), Sungai Apo Kayan dan Sungai Montalat di daerah hulu daerah aliran S. Barito, Sungai Mantikai yaitu anak Sungai Sambas, Sungai Tayan yaitu anak Sungai.. Kapuas di Kalimantan Barat, mempunyai endapan biji besi dan terkenal dengan peleburan dan pembuatan barang-barang dari besi.(Ave dan King 1986)

Emas dan intan juga dikumpulkan sejak dahulu , diperdagangkan ke istana-istana Sultan dan kepada pedagang-pedagang Hindu dan Cina. Menurut tradisi orang Dayak sendiri hampir tidak pernah membuat dan memakai perhiasan emas (Sellato 1989a), tetapi perdagangan emas mempengaruhi kebudayaan pulau ini. Emas telah di ekspor dari Borneo bagian barat kira-kira sejak abad ke-13 dan menjelang akhir abad ke -17 pedagang-pedagang Cina telah mengumpulkan muatan-muatan emas di Sambas (Hamilton 1930).

Penambangan emas secara komersial pertama di Kalimantan di lakukan oleh masyarakat Tionghoa. Dalam keramaian mencari emas pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, ladang emas terkaya dan termudah dicapai dikerjakan dahulu, tambang emas terbesar berada di Sambas dan Pontianak di sekitar Mandor. 

Masyarakat Tionghoa kemudian berpindah ke arah barat di wilayah Landak, pungguh daerah aliran Sungai Kapuas, dan setelah cadangan emas habis mereka mulai membuka tambang-tambang yang sangat kecil di daerah pedalaman. Menjelang pertengahan abad ke-19, industri pertambangan emas di Kalimatan menurun dengan cepat tetapi meninggalkan dampak jangka panjang bagi lingkungan dan kebudayaan

Sekarang ini Kalimantan telah terbagi-bagi dalam konsesi-konsesi pertambangan emas. Di Sambas Kalimantan Barat di kaki Pegunungan Schwaner, Kalimantan Tengah dan Sungai Kelian Kalimantan Timur telah dibuka pertambangan emas

Penambangan Batubara secara terbuka dibawah pengawasan kesultanan sudah mulai beroperasai di Kalimantan menjelang abad ke-19, yang menghasilkan batubara bermutu rendah dalam jumlah kecil untuk penggunaan setempat (Lindblad 1988). Tambang kecil milik negara di Palaran dekat Tenggarong di Kesultanan Kutai merupakan suatu contoh yang khas. 

Tambang batubara modern yang pertama di Kalimatan adalah tambang “Oranje Nassau’ yang dibuka oleh Belanda di Pengaron, Kalimantan Selatan pada tahun 1849. Tambang ini lebih diarahkan untuk menujukkan haknya terhadap kekayaan mineral pulau itu dan bukan karena potensi komeresialnya (Lindblad 1988).

Dengan pertimbangan serupa Inggris mendirikan “British North Borneo Company” untuk bekerja di Sabah, kerena mereka tertarik kepada tambang batubara di Labuan. Hak-hak kolonial ini hanya dapat didirikan dengan beberapa kerepotan.

Pada tahun 1888 perusahaan batubara Belanda (Oost-Borneo Maatchappij) mendirikan sebuah tambang batubara besar di Batu Panggal di tepi Sungai Mahakam. Ada pula kegiatan pribum secara kecil-kecilan yang dilakukan di Martapura sepanjang Sungai Barito, sepanjang Mahakam Hulu dan Sungai Berau. Pada tahun 1903, dengan penanaman modal Belanda, tambang batubara terbesar di Pulau Laut mulai berproduksi dan menjelang tahun 1910 telah menghasilkan kira-kira 25 % dari semua keluaran Indonesia (Lindblad 1988). 

Produksi tambang-tambang yang besar milik Belanda di ekspor, sedangkan kegiatan-kegiatan produksi yang lebih kecil diarahkan untuk pemasaran setempat. Kualitas batubara yang rendah dan tersedianya batubara dari Eropa yang lebih murah, terutama dari Inggris, akhirnya menyebabkan kemunduran pada pertambangan besar Belanda di Kalimantan. Namun penemuan ladang-ladang batubara baru akhirnya-akhirnya ini menyebabkan timbulnya perhatian baru terhadap batubara Kalimantan

Pertambangan mineral di Kalimantan dengan pola Penanaman Modal Asing di mulai dengan kontrak kerja Generasi III+, yaitu Indo Muro Kencana di Kalimantan Tengah dan Kelian Equatorial Mining di Kalimantan Timur. Sedangkan Pertambangan Batu Bara di mulai dengan Generasi Pertama oleh Adaro dan Arutmin di Kalimantan Selatan dan di Kalimantan Timur oleh Berau Coal, Indominco Mandiri, KPC, Kideco Jaya Agung, Multi Harapan Utama, Tanito Harum.

Saat ini setidaknya terdapat 21 perusahaan besar pertambangan di Kalsel, 15 Perjanjian Kontrak Bagi hasil Batu Bara dan Kontrak Karya [KK] serta 154 KP, sementara 15 Perjanjian Kontrak Bagihasil Batu Bara dan KK serta 188 Karya Pertambangan di Kalimantan Tengah.

Eksploitasi kayu di Kalimantan telah berlangsung lama dan menempati kedudukan yang penting selama penjajahan Belanda. Mulai tahun 1904 sejumlah konsesi penebagan hutan telah diberikan di bagian hulu Sungai Barito dan daerah-daerah Swapraja di pantai timur, khusunya Kutai (Potter 1988).

Kayu yang di eksploitasi 80% adalah kayu Depterocarpaceae, sedangkan kayu yang berasal dari pantai timur terutama adalah kayu besi (van Braam 1914). Hamparan hutan Dipterocarpaceae yang luas di pantai timur lebih sukar untuk dieksploitasi dan berbagai upaya pada permulaan gagal, meskipun dengan penanaman modal besar (Potter 1988). 

Tahun 1942 petugas-petugas penjajah Belanda menyiapkan peta hutan yang bersipat menyeluruh untk karesidenan Borneo Selatan dan Borneo Timur (meliputi Kalteng-sel-tim) yang menunjukkan bahwa 94% luas karesidenan merupakan daerah yang tertutup hutan. Angka-angka mengenai luas lahan berhutan yang diterbitkan pada tahun 1929 masih dijadikan dasar dalam pemberian ijin konsesi penebangan hutan pada tahun 1975 (Hamzah 1978; Potter 1988). 

Sejak jaman penjajahan pelestarian hutan telah mendapat perhatian. Empat kawasan hutan ditetapkan sebagai cagar hidrologi di Borneo Tenggara yaitu gunung-gunung di Pulau Laut, dan tiga cagar alam meliputi Pegunungan Meratus yang membujur dari utara ke selatan (van Suchtelen 1933).

Pembalakan kayu secara massif dimulai pada tahun 1967, saat itu 77% luas hutan atau seluas 41.470.000 dinyatakan milik negara. Pada waktu itu pemerintah menghadapi masalah-masalah ekonomi yang berat sehingga membirikan konsesi kayu dengan murah kepada perusahaan-perusahaan asing yang berniat untuk mengeksploitasi hutan tropis yang luas. 

Menjelang tahun 1972 luas daerah konsesi mencapai 26,2 juta hektar dan kemudian meningkat menjadi 31 juta ha pada tahun 1982 terutama di Kalteng dan Kaltim (Ave dan King).

Industri Perkebunan Besar di Kalimantan bermula di Kalimantan Barat sekitar awal tahun 1980-an, oleh PTPN, sebuah BUMN. Di Kalimantan Barat di pegang oleh PTP/PTPN VII dengan kontor direksi di Pontianak. Dari sana muncul fenomena Sanggau sebagai Primadona Sawit. Lahan yang digunakan untuk kegiatan budidaya perkebunan ini dapat dikatakan sebagai APL (Area Penggunaan Lain) yang berasal dari kawasan hutan.

Tahun 2006 di Kalimantan Tengah telah dialokasikan areal seluas 4.5 juta ha untuk Perkebunan Besar Swasta. Saat ini terdapat 104 PBS operasional dengan seluas 1,7 juta ha dan 196 PBS belum operasional seluas 2,8 juta ha.

Kalimantan Selatan berencana membangun seluas 1,1 juta ha, dimana 400 ribu ha sudah operasional dan peruntukan baru untuk perkebunan sawit seluas 700 ribu ha. Sedangkan di Kalimantan Timur dilakukan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan seluas 2,6 juta ha [2005], dimana 4,09 juta hektare yang diperuntukkan bagi 186 perusahaan, namun yang aktif 34 perusahaan. Sementara Kalimantan Barat [Juli 2006] telah memberikan ijin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 1.461.648 ha kepada 79 perusahaan. Dari jumlah itu seluas 127.100 ha merupakan kawasan hutan yang dialihfungsikan / konvesi. Dengan demikian total se-Kalimantan akan di bangun perkebunan tidak kurang dari ± 10 juta hektare.

Sayangnya, pembangunan dan exploitasi sumberdaya alam, khususnya hutan untuk perkebunan dan konversi lainnya di Kalimantan tidak memperhitungkan kondisi tutupan hutan yang sudah semakin menipis dimana : Hutan primer hanya tersisa 15.65 %, Hutan sekunder 16,93 % Hutan primer lahan basah 0.26%, hutan sekunder lahan basah 11.31 % dan sisanya sebesar 55.84 % kawasan non hutan.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger